Tugas Etika Bisnis 3

KESETARAAN GENDER TERHADAP LINGKUNGAN KERJA







MAYA NURSAKINAH
  16214507




JURUSAN/PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
            Kesetaraan gender pada zaman sekarang menjadi isu yang penting. Gagasan tentang kesetaraan gender, membuka kemungkinan perempuan untuk berapresiasi secara bebas di depan publik. Dimulai sejak era pejuang perempuan R.A Kartini, telah membuat kedudukan emansipasi perempuan lebih maju dibandingkan dahulu. Pernyataan ini didukung dengan adanya Undang-Undang yang dibuat untuk menyetarakan gender perempuan dan laki-laki, yang menegaskan bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun hukum. Demikian juga UU HAM yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai HAM yang tidak berbeda (Menteri Pemberdayaan Perempuan, 2004).
            Perjuangan dalam mencapai kesetaraan gender telah berlangsung secara revolusioner hingga mencapai suatu gerakan dunia yang kini disebut pengarusutamaan gender (PUG) adalah perwujudan dari komitmen global penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), berkaitan dengan kesamaan kesempatan dan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peranperan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat dan rumah tangga.
            Selama satu dekade terakhir, partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja mengalami peningkatan yang cukup nyata, meskipun prosentasenya kecil jika dibandingkan dengan laki-laki. Perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan peran perempuan yang sangat berarti dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, struktur angkatan kerja perempuan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Dengan demikian, sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan canggih atau spesifik. Dalam perspektif gender, proporsi tenaga kerja perempuan dan laki-laki di sektor informal adalah 40% perempuan, dan 60% laki-laki. Proporsi tenaga kerja perempuan di sektor informal ini mencakup 70% dari keseluruhan tenaga kerja perempuan. Pekerjaan perempuan di sektor informal biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan secara hukum dan jaminan kesejahteraan yang memadai, di samping kondisi kerja yang memprihatinkan serta pendapatan yang rendah.
            Partisipasi perempuan saat ini, bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Melihat potensi perempuan sebagai sumber daya manusia maka upaya menyertakan perempuan dalam proses pembangunan bukan hanya merupakan perikemanusiaan belaka, tetapi merupakan tindakan efisien karena tanpa mengikut sertakan perempuan dalam proses pembangunan berarti pemborosan dan member pengaruh negatif terhadap lajunya pertumbuhan ekonomi (Pudjiwati, 1983). Berdasarkan uraian diatas maka penulisan ini bermaksud untuk membahas tentang “KESETARAAN GENDER TERHADAP LINGKUNGAN KERJA”.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang  dimaksud kesetaraan gender?
2. Bagaimana contoh perusahaan yang menerapkan kesetaraan gender dalam lingkungan kerja?

1.3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud  kesetaraan gender.
2. Untuk mengetahui contoh perusahaan yang menerapkan kesetaraan gender dalam lingkungan kerja.



BAB II
TELAAH PUSTAKA


2.1. Gender
            John M. Echols & Hassan Sadhily mengemukakan kata  gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (Rahmawati, 2004). Secara umum, pengertian  Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan  perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
            Fakih (2006) mengemukakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Perubahan cirri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut konsep gender. Selanjutnya Santrock (2003) mengemukakan bahwa istilah  gender  dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.
            Selain itu, istilah gender merujuk pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan cultural tentang apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan (Rahmawati, 2004).

2.2. Kesetaraan Gender
            Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut:
1. AKSES; yang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi anak didik adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk anak didik perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak.
2. PARTISIPASI: Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di tempat yang sama atau tidak.
3. KONTROL: adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak.
4. MANFAAT: adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau tidak.

2.3. Keadilan Gender
            Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
            Ketidakadilan gender (gender inequalities) merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender menurut beberapa pakar timbul dalam bentuk:
1. Stereotype
            Pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif secara umum dan melahirkan ketidakadilan. Sebagai contoh, perempuan sering digambarkan emosional, lemah, cengeng, tidak rasional, dan sebagainya. Stereotype tersebut yang kemudian menjadikan perempuan selama ini ditempatkan pada posisi domestik, kerapkali perempuan di identikan dengan urusan masak, mencuci, dan seks (dapur, sumur, dan kasur).

2. Kekerasan (violence)
            Kekerasan berbasis gender, kekerasan tersebut terjadi akibat dari ketidak seimbangan posisi tawar (bargaining position) atau kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan terjadi akibat konstruksi peran yang telah mendarah daging pada budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah. Cakupan kekerasan ini cukup luas, diantaranya eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi, trafficking, perkosaan, pornografi, dan sebagainya.

3. Marginalisasi
            Peminggiran terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan, atau pengetahuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.14). Salah satu bentuk paling nyata dari marginalisasi ini adalah lemahnya peluang perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi. Proses tersebut mengakibatkan perempuan menjadi kelompok miskin karena peminggiran terjadi secara sistematis dalam masyarakat.

4. Subordinasi
            Penomorduaan (subordinasi) ini pada dasarnya merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya (Leli Nurohmah dkk, Kesetaraan Kemajemukan dan Ham, Jakarta: Rahima, h. 13). Hal ini berakibat pada kurang diakuinya potensi perempuan sehingga sulit mengakses posisi-posisi strategis dalam komunitasnya terutama terkait dengan pengambilan kebijakan.

5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden)
            Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan (Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h.21). Untuk keluarga miskin perempuan selain bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, mereka juga mencari nafkah sebagai sumber mata pencarian tambahan keluarga, ini menjadikan perempuan harus bekerja ekstra untuk mengerjakan kedua bebannya.

            Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termani-festasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting alam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi peran gender (Fakih, 1999).


BAB III
PEMBAHASAAN

3.1. Kesetaraan Gender
            Kesetaraan merupakan keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan
yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.
            Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
            Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Ketika melihat karakteristik dari masing-masing secara fisik, kita akan dengan mudah membedakannya. Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanyalah segala perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir antara perempuan dan laki-laki. Seandainya saja perbedaan itu tidak menjadikan ketidakadilan, tidak menjadikan pertentangan dan tidak ada penekanan dan penindasan satu di antara yang lain, mungkin tidaklah menjadi sebuah masalah. Pada kenyataannya, perbedaan itu telah merambat pada salah satu pihak merasa dan dianggap lebih tinggi derajatnya, lebih berkuasa dan lebih segalanya dari pihak lain. Hal inilah yang memunculkan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan.
            Perubahan yang terjadi di era reformasi saat ini belum tentu terjadi pula perubahan dalam perilaku masyarakat terhadap diskriminasi perempuan. Perempuan secara utuh belum mampu mendapatkan hak mereka untuk berkembang dan sejajar dengan laki-laki. Perempuan cenderung menjadi individu yang termarginalkan dan menjadi subordinat dari laki-laki. Laki-laki masih dianggap sebagai sosok yang kuat dan bertanggung jawab untuk mencari nafkah, sedangkan perempuan merupakan sosok yang lemah yang bertugas untuk mengatur urusan rumah tangga.
            Ketika perempuan masuk ke dalam dunia kerja, perempuan juga masih dihadapkan pada perilaku semena-mena dan tidak adanya keadilan atas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di dunia kerja pula perempuan masih menempati posisi rendah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan seringkali kesulitan untuk mendapatkan akses dan informasi untuk merambah ke dunia kerja yang lebih luas. Perempuan masih banyak melakukan pekerjaan di sektor domestik atau informal yang tidak memerlukan keahlian dan keterampilan yang tinggi. Stereotype yang muncul terhadap pekerja wanita adalah sosok yang mampu bekerja dengan ketekunan, ketelitan, pekerjaan di bidang yang sama dengan jangka waktu yang panjang, serta upah yang rendah. Hal tersebut berdampak pada posisi perempuan dalam pekerjaan yang tidak akan mendapatkan kenaikan jabatan dan upah gaji yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
            Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan biasanya bergerak di bidang agrikultur, garmen, tekstil, administrasi, rokok, dan manufaktur dimana pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keterampilan dan pendidikan yang tinggi. Perempuan sering ditempatkan sebagai buruh dimana memiliki jabatan yang lebih rendah dengan laki-laki yang biasanya lebih mendominasi dengan jabatan mandor atau kepala bagian. Kondisi tersebut dialami oleh perempuan hampir di seluruh dunia dan salah satunya adalah Indonesia. Pabrik lebih senang mempekerjakan buruh perempuan karena dianggap lebih teliti, tekun dan mau dibayar murah.
            Semakin menjamurnya jumlah perusahaan pada saat ini, bahwa semakin minimnya jumlah tenaga kerja berkualitas yang dimiliki oleh negara, menyebabkan bahwa perluasan spesifikasi tenaga kerja yang diminta pun semakin meluas guna menjaga kualitas kerja dari sebuah perusahaan. Beberapa divisi atau jabatan kerja tertentu seperti yang dapat anda perhatikan akan diduduki oleh seseorang dengan gender tertentu, apabila anda perhatikan lebih lanjut pada fakta lapangan yang ada bahwa customer service pada umumnya didominasi oleh wanita, sedangkah divisi keamanan suatu perusahaan pada umumnya didominasi oleh pria. Hal tersebut bukanlah merupakan suatu kebetulan, melainkan adanya berbagai macam pertimbangan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan berkaitan dengan spesifikasi dari masing-masing gender.

            Ada beberapa aspek pertimbangan dalam penempatan dan penanganan kerja yang menjelaskan perbedaan seorang pria ataupun wanita:

1. Pola pikir
            Adanya perbedaan dari pola pikir seorang pria yang cenderung berpaku pada fakta, sementara pola pikir wanita yang cenderung mengacu pada konsep dan sesuatu yang saling berhubungan. Hal ini mampu menyebabkan bahwa pola pikir dari seorang wanita cenderung lebih luas daripada seorang pria yang straight to the point.

2. Memerintah (giving order)
            Pria cenderung lebih tegas dalam memberikan sebuah perintah (order) disebabkan oleh sifat seorang pria pada umumnya yang tidak suka bertele-tele, sedangkan wanita akan lebih mengutarakan perintah mereka dengan kata-kata yang lebih halus dan lebih mudah diterima.

3. Pemilahan
            Pria cenderung lebih dapat memilah-milah semua hal yang mereka temui, sebagai contoh masalah perselisihan dan masalah pekerjaan akan mendapatkan porsi mereka tersendiri, sehingga seorang pria dalam suatu lingkungan kerja cenderung lebih fleksibel, sementara wanita pada umumnya memiliki faktor konektivitas dari pola pikir mereka sehingga mengakibatkan setiap masalah yang mereka temui akan membawa hubungan satu sama lain, sebagai contoh dikarenakan adanya perselisihan dalam suatu pekerjaan dengan rekan kerja dapat mengakibatkan seorang wanita menjadi enggan untuk bekerja di lingkungan tersebut.

4. Problem Solving
            Pola pikir seorang pria yang cenderung untuk segera menyelesaikan masalah yang mereka hadapi daripada membicarakannya sangatlah berbeda terbalik dengan wanita yang cenderung lebih suka untuk membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi. Hal ini juga berpengaruh pada pendekatan yang dapat dilakukan oleh seorang pemilik dalam melakukan pendekatan terhadap karyawan / pegawai mereka berdasarkan gender.

5. Tujuan
            Pria cenderung untuk lebih menyukai hasil dan cara mereka dalam pencapaian hasil kerja mereka, sedangkan wanita cenderung untuk lebih menyukai tidak hanya pencapaian hasil kerja mereka namun juga penilaian dari orang lain akan proses dan hasil yang mereka capai.

6. Komentar
            Pria dalam memberikan komentar akan cenderung lebih straight to the point, apa adanya dan realistis pada fakta yang terjadi, sementara seorang wanita akan cenderung untuk mempertimbangkan cara mereka dalam menyampaikan kritik dan berhati-hati untuk tidak menyingung perasaan orang lain.

7. Bertanya
            Pria cenderung lebih tidak suka bertanya daripada wanita disebabkan oleh karena seorang pria hanya ingin mendapatkan informasi dari setiap pertanyaan yang dilontarkan sehingga pada saat informasi telah terkumpul maka seorang pria akan minim bertanya, sementara seorang wanita cenderung lebih suka bertanya bahkan di saat dia tidak memerlukan jawaban, disebabkan karena kecenderungan mereka selain untuk mengumpulkan informasi namun juga untuk menjaga relasi atau hubungan.

3.2. Contoh Perusahaan yang Menerapkan Kesetaraan Gender dalam Lingkungan Kerja
            Kesetaraan gender artinya laki-laki dan perempuan harus memiliki peran dan kesempatan yang sama dalam bekerja. Hal ini ditegaskan mantan Menteri Negara Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang juga mantan Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Linda Agum Gumelar dalam talkshow dengan tema “Women Leaders at Nestlé: Gender Balance and Diversity” yang diadakan Nestlé Indonesia dalam rangka merayakan International Women’s Day, Rabu (8/3).

            Menurutnya, dalam konteks kenegaraan, kesetaraan gender artinya laki-laki dan perempuan harus bisa bersama-sama untuk menyusun, melaksanakan, dan menikmati pembangunan. “Masih banyak perempuan di Indonesia yang hanya bekerja di ranah domestik, sementara mereka memiliki kemampuan yang lebih besar,” ujar Linda. Dia juga mengingatkan, perempuan yang bekerja juga harus bekerja sungguh-sungguh dan optimal.

            Selain Linda Gumelar, tampil sebagai pembicara yaitu pemimpin redaksi dan Chief Community Officer Femina Petty Fatimah, serta Head of Operations Performance Nestlé Indonesia Imelda Mayasari. Acara bincang-bincang yang digelar untuk menginspirasi para karyawan perempuan untuk mencapai prestasi dalam karir serta menjalani hidup yang sehat dan bahagia.

            Adapun Imelda Mayasari meyakini bahwa perempuan memiliki peran ibarat segitiga tidak sama sisi. Di satu sisi, perempuan harus berperan sebagai seorang karyawan di tempat dia bekerja, sebagai Ibu yang harus mengasuh anak-anaknya, dan seorang istri yang harus mendampingi suami. “Sisi dari segitiga itu bisa berbeda-beda panjangnya tergantung prioritas yang sedang dihadapi. Jadi  harus bisa memainkan peran yang sangat baik untuk ketiga peran tersebut,” kata Imelda.

            “Di Nestlé, kami percaya bahwa kesetaraan gender dan keberagaman dapat membantu meningkatkan pertumbuhan bisnis. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, Nestlé Indonesia telah melipatgandakan jumlah manajer wanita hingga 36%. Bahkan, 32% dari jajaran manajemen Nestlé Indonesia adalah perempuan. Untuk terus memotivasi karyawan perempuan lainnya, sejak 2016 kami menyelenggarakan Women Leaders Award, yaitu suatu bentuk penghargaan untuk 20 pemimpin wanita di Nestlé yang telah menunjukkan kegigihan dan kerja kerasnya hingga menjadi contoh bagi karyawan lainnya,” ujar Presiden Direktur Nestlé Indonesia Dharnesh Gordhon saat membuka acara bincang-bincang ini.

            Komitmen Nestlé untuk menjadi perusahaan yang menerapkan kesetaraan gender ini juga diakui oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) melalui penghargaan Women Leading Award yang diberikan kepada Direktur Legal & Corporate Affairs Nestlé Indonesia Debora R. Tjandrakusuma. WBCSD sendiri merupakan.suatu organisasi global yang terdiri dari kurang lebih 200 perusahaan dan mitra untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dimana Nestlé merupakan salah satu anggotanya, “Penghargaan ini diberikan atas kegigihan Debora Tjandrakusuma yang secara proaktif berupaya mengatasi isu-isu kritis keberlanjutan, yang merupakan salah satu prioritas Nestlé, mulai dari deforestasi, hak asasi manusia, hingga beragam isu kesejahteraan lainnya yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia,” tutur Dharnesh Gordhon.

            Beragam inisiatif lain yang telah dilakukan Nestlé untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi seluruh karyawan, termasuk perempuan antara lain dapat dilihat dari Maternity Protection Policy yang akan diimplementasikan pada 2018. Kebijakan yang disusun berdasarkan ILO Maternity Protection Convention ini mencakup hak karyawan untuk mengambil cuti melahirkan hingga enam bulan dan tetap menerima gaji yang tidak hanya diberikan kepada para ibu, tapi juga semua orang yang bertindak sebagai wali asuh utama bayi, termasuk orang tua angkat. Selain itu, kebijakan ini juga mencakup pengaturan kondisi kerja yang fleksibel dan jaminan keleluasaan untuk menggunakan ruang laktasi (ruang menyusui) selama jam kerja di kantor.

            “Seluruh program, kebijakan dan inisiatif kami tersebut bertujuan untuk mendukung kinerja para karyawan kami – baik perempuan maupun laki-laki – dengan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Kami berharap seluruh upaya kami ini dapat semakin menegaskan komitmen Nestlé dalam meningkatkan kualitas hidup dan memberikan kontribusi untuk masa depan yang lebih sehat,” tutup Dharnesh Gordhon. (Ratri Suyani)


BAB IV
KESIMPULAN


            Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya kesetaran gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil.


DAFTAR PUSTAKA


Br. Singarimbun Justrina. 2011. “Analisis Kepuasan Kerja Karyawan Berdasarkan Perbedaan Karakteristik Jenis Kelamin”. Jurnal Murni Sadar. Vol.1, No.2

Hermawati Tanti. 2007. “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender”. Jurnal Komunikasi Massa. Vol.1, No.1

Iriyanto Setia dan Winaryati Eny. “Perbedaan Persepsi Antar Jenis Kelamin Terhadap Peran Gender Dalam Keluarga dan Masyarakat: Antara Harapan dan Kenyataan pada Guru-guru SD di Wilayah Kecamatan Tembalang Kota Semaranf”. http://jurnal.unimus.ac.id

Khotimah Khusnul. 2009. “Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan”. Jurnal Studi Gender & Anak. Vol.4, No.1

Miskahuddin. 2014. “Pengaruh Sosialisasi Gender Terhadap Pembentukan Pola Pikir Perempuan Aceh (Studi Kasus di Banda Aceh dan Aceh Besar)”. International Journal of Islamic Studies. Vol.1, No.2

Widodo Agus. 2013. “Peran Banco De La Mujer Sebagai Institusi Sosial Dalam Mengatasi Diskriminasi Gender di Venezuela”. eJournal Ilmu Hubungan Internasional. Vol.1, No.3

https://www.nestle.co.id/


Komentar